Mistis, satu kata yang paling sering dikaitkan dengan Gunung Lawu. Gunung yang terletak di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah
ini konon memang merupakan pusat kegiatan spritual di Pulau Jawa. Boleh
percaya, boleh tidak. Untuk sedikit pembuktian coba saja melakukan
pencarian dengan kata kunci Gunung Lawu di Google. Saya sendiri
menemukan banyak cerita mistis yang dialami para pendaki ketika
melakukan ekspedisi di gunung ini. Namun bukan pendaki gunung namanya
kalau menghindari pendakian gunung hanya gara-gara mitos seputar mistis.
Gunung Lawu
memiliki dua rute pendakian yang biasa digunakan para pendaki. Rute
pertama melewati pintu masuk Cemoro Sewu di Kabupaten Magetan, Jawa
Timur. Rute ke-2 melewati pintu masuk Cemoro Kandang di Kabupaten Karang
Anyar, Jawa Tengah. Kedua pintu masuk tersebut hanya berjarak sekitar
200 m. Saya dan teman satu tim berencana akan naik dari Cemoro Sewu dan
turun dari Cemoro Kandang.
Hari I
Perjalanan saya mulai dari Kamal
menyeberangi Selat Madura, disambung perjalanan darat Surabaya-Maospati
selama ± 5 jam menaiki bus Sumber Selamat. Maospati menjadi meeting point dengan
tiga teman tim lainnya. Untuk sampai di Cemoro Sewu, saya dan tim masih
harus bertukar angkutan umum 2 kali lagi. Kebetulan tidak ada angkutan
umum dari Terminal Maospati langsung ke Cemoro Sewu. Sungguh perjalanan
yang cukup melelahkan.
Jam menunjukkan sekitar pukul 16.00 WIB
ketika saya menginjakkan kaki di Cemoro Sewu. Hawa sejuk angin
pegunungan terasa begitu dingin menyapa kulit. Sambil melakukan sedikit
penyesuain diri dengan cuaca pegunungan, saya dan tim menikmati hidangan
nasi sambel super pedas yang dibawa dari Madiun. Hujan mulai turun
ketika kami mulai melakukan pendakian. Itu artinya jas hujan dan rain cover harus segera dipasang untuk melindungi tubuh dan tas carrier.
Banyak yang bilang Gunung Lawu rute
Cemoro Sewu sangat cocok untuk pemula karena medannya yang tidak terlalu
berat. Saya tidak merasakan itu sebagai seorang pemula. Saya sudah
mulai ngos-ngosan di awal pendakian. Kedua kaki saya rasanya berat
sekali untuk digerakkan. Beban tas carrier dipunggung tiba-tiba
bertambah berat. Jantung rasanya mau copot, beradu cepat dengan irama
nafas memompa oksigen ke seluruh tubuh. Malam menjelang ketika rombongan
saya tiba di Pos 1. Saya sendiri akhirnya menyerah setelah melewati Pos
2, tas carrier 80 L yang saya bawa berpindah tangan ke salah satu
teman.
Sekitar pukul 22.00 WIB akhirnya kami
tiba juga di Pos 5 yang merupakan pos terakhir sebelum mencapai puncak.
Kami mendirikan tenda di dekat mata air Sendang Drajat. Di sana sudah
ada satu tenda tim pendaki lainnya. Sebelum beristirahat, teman-teman
saya terlebih dulu menyiapkan makan malam dengan menu nasi putih dan
ikan lele goreng dicampur sardines untuk mengganti energi yang hilang selama pendakian.
Hari II
Rencana summit attack gagal
total karena hujan masih menetes dari langit membasahi bumi. Pagi itu
kami hanya berdiam saja di tenda setelah sarapan sambil berharap cuaca
akan membaik. Penantian kami tidak sia-sia. Langit akhirnya menampakkan
warnanya yang biru. Awan-awan dan kabut yang menyelimuti dari pagi hari
akhirnya menyingkir.
Kesempatan itu tidak kami sia-siakan
untuk melakukan pendakian ke puncak. Hanya butuh waktu sekitar 30 menit
dari Pos 5 menuju puncak Hargo Dumilah. Gunung Lawu sendiri memiliki 3
puncak, yaitu Hargo Dalem, Hargo Dumiling, dan Hargo Dumilah. Di antara
ketiga puncak ini, Puncak Dumilah merupakan puncak tertinggi dengan
ketinggian 3265 mdpl.
Saat berada di puncak, hujan turun
kembali. Cuaca di Gunung Lawu memang agak sulit ditebak pada saat
pendakian itu. Dengan pertimbangan cuaca itu ditambah keadaan fisik yang
masih kurang fit akhirnya kami memutuskan menginap semalam lagi di Pos
5.
Hari III
Hari terakhir di Gunung Lawu dan
keberuntungan sepertinya berpihak pada saya dan tim. Pagi-pagi sekali
ketika baru saja bangun tidur, kami menyaksikan indahnya sunrise (matahari terbit) di tengah dinginnya cuaca Gunung Lawu.
Bahkan sesaat sebelum turun, kami juga sempat menyaksikan indahnya
samudera di atas awan di Gunung Lawu. Pemandangan seperti ini memang
sangat ditunggu-tunggu para pendaki gunung.
Perjalanan turun dari rute Cemoro
Kandang membutuhkan waktu yang lebih cepat dari pada perjalanan naik.
Namun dibutuhkan kehati-hatian yang lebih karena medan yang cukup curam
dan licin. Di beberapa lokasi, rute yang harus dilalui bahkan sangat
curam. Rute ini cukup berliku karena bentuknya yang zig-zag mengular
menuruni lereng Gunung Lawu. Di sepanjang perjalanan, mata akan
disajikan pemandangan Bunga Edelweis yang tampaknya masih cukup lestari
di Gunung Lawu.
Dengan perjuangan yang cukup melelahkan,
kami tiba dengan selamat tanpa kekurangan apapun di Cemoro Kandang
sekitar pukul 14.00 WIB. Kami menyempatkan mampir di salah satu warung Sate Kelinci dan Sate Landak sebelum melanjutkan perjalanan pulang.
Di balik semua kisah mistis dan
misterinya ternyata Gunung Lawu memiliki keindahan pemandangan yang
sungguh luar biasa. Indonesia itu memang indah kawan!
0 komentar:
Posting Komentar