Senin, 19 Januari 2015

Mistis, satu kata yang paling sering dikaitkan dengan Gunung Lawu. Gunung yang terletak di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah ini konon memang merupakan pusat kegiatan spritual di Pulau Jawa. Boleh percaya, boleh tidak. Untuk sedikit pembuktian coba saja melakukan pencarian dengan kata kunci Gunung Lawu di Google. Saya sendiri menemukan banyak cerita mistis yang dialami para pendaki ketika melakukan ekspedisi di gunung ini. Namun bukan pendaki gunung namanya kalau menghindari pendakian gunung hanya gara-gara mitos seputar mistis.
Gunung Lawu memiliki dua rute pendakian yang biasa digunakan para pendaki. Rute pertama melewati pintu masuk Cemoro Sewu di Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Rute ke-2 melewati pintu masuk Cemoro Kandang di Kabupaten Karang Anyar, Jawa Tengah. Kedua pintu masuk tersebut hanya berjarak sekitar 200 m. Saya dan teman satu tim berencana akan naik dari Cemoro Sewu dan turun dari Cemoro Kandang.
Pintu masuk Cemoro Sewu
Pintu masuk Cemoro Sewu
Hari I
Perjalanan saya mulai dari Kamal menyeberangi Selat Madura, disambung perjalanan darat Surabaya-Maospati selama ± 5 jam menaiki bus Sumber Selamat. Maospati menjadi meeting point dengan tiga teman tim lainnya. Untuk sampai di Cemoro Sewu, saya dan tim masih harus bertukar angkutan umum 2 kali lagi. Kebetulan tidak ada angkutan umum dari Terminal Maospati langsung ke Cemoro Sewu. Sungguh perjalanan yang cukup melelahkan.
Jam menunjukkan sekitar pukul 16.00 WIB ketika saya menginjakkan kaki di Cemoro Sewu. Hawa sejuk angin pegunungan terasa begitu dingin menyapa kulit. Sambil melakukan sedikit penyesuain diri dengan cuaca pegunungan, saya dan tim menikmati hidangan nasi sambel super pedas yang dibawa dari Madiun. Hujan mulai turun ketika kami mulai melakukan pendakian. Itu artinya jas hujan dan rain cover harus segera dipasang untuk melindungi tubuh dan tas carrier.
Banyak yang bilang Gunung Lawu rute Cemoro Sewu sangat cocok untuk pemula karena medannya yang tidak terlalu berat. Saya tidak merasakan itu sebagai seorang pemula. Saya sudah mulai ngos-ngosan di awal pendakian. Kedua kaki saya rasanya berat sekali untuk digerakkan. Beban tas carrier dipunggung tiba-tiba bertambah berat. Jantung rasanya mau copot, beradu cepat dengan irama nafas memompa oksigen ke seluruh tubuh. Malam menjelang ketika rombongan saya tiba di Pos 1. Saya sendiri akhirnya menyerah setelah melewati Pos 2, tas carrier 80 L yang saya bawa berpindah tangan ke salah satu teman.
Sekitar pukul 22.00 WIB akhirnya kami tiba juga di Pos 5 yang merupakan pos terakhir sebelum mencapai puncak. Kami mendirikan tenda di dekat mata air Sendang Drajat. Di sana sudah ada satu tenda tim pendaki lainnya. Sebelum beristirahat, teman-teman saya terlebih dulu menyiapkan makan malam dengan menu nasi putih dan ikan lele goreng dicampur sardines untuk mengganti energi yang hilang selama pendakian.
Mata air Sendang Drajat
Mata air Sendang Drajat
Hari II
Rencana summit attack gagal total karena hujan masih menetes dari langit membasahi bumi. Pagi itu kami hanya berdiam saja di tenda setelah sarapan sambil berharap cuaca akan membaik. Penantian kami tidak sia-sia. Langit akhirnya menampakkan warnanya yang biru. Awan-awan dan kabut yang menyelimuti dari pagi hari akhirnya menyingkir.
Langit biru di Gunung Lawu
Langit biru di Gunung Lawu
Kesempatan itu tidak kami sia-siakan untuk melakukan pendakian ke puncak. Hanya butuh waktu sekitar 30 menit dari Pos 5 menuju puncak Hargo Dumilah. Gunung Lawu sendiri memiliki 3 puncak, yaitu Hargo Dalem, Hargo Dumiling, dan Hargo Dumilah. Di antara ketiga puncak ini, Puncak Dumilah merupakan puncak tertinggi dengan ketinggian 3265 mdpl.
Puncak Hargo Dumilah
Puncak Hargo Dumilah 3265 mdpl
Saat berada di puncak, hujan turun kembali. Cuaca di Gunung Lawu memang agak sulit ditebak pada saat pendakian itu. Dengan pertimbangan cuaca itu ditambah keadaan fisik yang masih kurang fit akhirnya kami memutuskan menginap semalam lagi di Pos 5.
Hari III
Hari terakhir di Gunung Lawu dan keberuntungan sepertinya berpihak pada saya dan tim. Pagi-pagi sekali ketika baru saja bangun tidur, kami menyaksikan indahnya sunrise (matahari terbit) di tengah dinginnya cuaca Gunung Lawu.
Sunrise di Gunung Lawu
Sunrise di Gunung Lawu
Indahnya sunrise di Lawu
Indahnya sunrise di Lawu
Bahkan sesaat sebelum turun, kami juga sempat menyaksikan indahnya samudera di atas awan di Gunung Lawu. Pemandangan seperti ini memang sangat ditunggu-tunggu para pendaki gunung.
Samudera di atas awan Gunung Lawu
Samudera di atas awan Gunung Lawu
Perjalanan turun dari rute Cemoro Kandang membutuhkan waktu yang lebih cepat dari pada perjalanan naik. Namun dibutuhkan kehati-hatian yang lebih karena medan yang cukup curam dan licin. Di beberapa lokasi, rute yang harus dilalui bahkan sangat curam. Rute ini cukup berliku karena bentuknya yang zig-zag mengular menuruni lereng Gunung Lawu. Di sepanjang perjalanan, mata akan disajikan pemandangan Bunga Edelweis yang tampaknya masih cukup lestari di Gunung Lawu.
Rute Cemoro Kandang
Rute Cemoro Kandang
Dengan perjuangan yang cukup melelahkan, kami tiba dengan selamat tanpa kekurangan apapun di Cemoro Kandang sekitar pukul 14.00 WIB. Kami menyempatkan mampir di salah satu warung Sate Kelinci dan Sate Landak sebelum melanjutkan perjalanan pulang.
Di balik semua kisah mistis dan misterinya ternyata Gunung Lawu memiliki keindahan pemandangan yang sungguh luar biasa. Indonesia itu memang indah kawan!

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!