Suatu hari di tahun 1864, terdorong keinginan yang kuat untuk menggapai
puncak singasana Dewi Anjani, Zoolinger menembus rimba hutan. Kala itu
Rinjani belumlah menjadi kawasan Taman Nasional seperti sekarang. Jalur
pendakian yang sangat sulit, rimba belantara yang harus dibuka, serta
mitos tempat dimana para jin bersemayam menjadikan pendakian Zoolinger
seorang ahli botani kerkebangsaan Belanda tersebut tersendat-sendat.
Zoolinger tidak sendiri, bersamanya ikut serta porter lokal yang membawa
perlengkapan penelitian. Tak mudah mencapai puncak Rinjani, persediaan
air yang tidak memadai menjadikan angan untuk berdiri di puncak Anjani
sirna sudah. Namun demikian Zoolinger tetap tercatat sebagai pendaki
pertama di Gunung Rinjani.
Dua abad setelah pendakian manusia ke Gunung Rinjani, saya bersama empat teman lainnya mendapat peruntungan. Tiket terbang Jakarta - Lombok PP serta hal yang sangat menyenangkan sudah menanti kami. Mengikuti jejak Zoolinger mendaki Gunung Rinjani, targetnya tentu saja Puncak Anjani diketinggian 3726 mdpl. Adalah Loreal Men Expert bersama dengan National Geographic Indonesia mengadakan kegiatan #blacktrail, sebuah program petualangan yang memberi edukasi dan membuka mata para pesertanya untuk mengenal Indonesia lebih jauh, belajar budaya lokal, berinteraksi dengan masyarakat dan melakukan perjalanan cerdik yang tentu saja memberi esensi perjalanan yang selama ini belum sepenuhnya saya dan teman-teman lakukan. Turut pula bersama kami Pak Rifki, dari Indecon (Indonesia Ecotourism Network) sebuah organisasi yang malang-melintang dalam pengelolaan destinasi berbasis ekowisata yang tentu saja memberi banyak manfaat bagi penduduk lokal. Nicholas Saputra, idola saya yang membintangi film Soe Hok Gie, Janji Joni dan sederet film hebat lainnya. Cahyo Alkantana videographer kawakan, karyanya sudah mendunia dan menjadikan pria 49 tahun kelahiran Yogyakarta ini menjadi petualang yang paling diperhitungkan di negeri ini.
Kami membuka pagi pertama di Desa Sembalun, yang menjadi salah satu jalur pendakian yang ada di Rinjani selain Senaru dan Torean. Porter kami pagi ini menyajikan kopi dengan takaran pas, dan tentu saja pancake berstandar internasional dengan cita rasa lezat buatan penduduk Sembalun, sebuah kemajuan besar. Rinjani Trek Management Board (RTMB) adalah pihak yang sangat berjasa dalam mengedukasi para porter yang kesemuanya merupakan warga lokal. Usaha edukasi ini tentu saja membawa dampak besar terhadap pengelolaan kawasan Rinjani, tidak hanya dampak nyata dalam pelestarian kawasan alam, namun juga dampak ekonomi bagi warga lokal.
"Dulu kalau kita rebus air, atau memasak nasi. Itu semua peralatan harus dijaga. Kalau ditinggalin sebentar, bisa hilang semua peralatan masak, bahkan panci yang lagi dimasak nasipun ikut raib." tutur Cahyo Alkantana mengenang betapa rawannya Rinjani saat pendakiannya tahun 1982. Cerita-cerita seram itu pun saya dengar saat briefing sebelum keberangkatan menuju Rinjani di kantor Loreak Men Expert, tenda yang hilang dan pemalakan yang dilakukan warga lokal.
Namun Pak Rifki dari Indecon meyakinkan sekali lagi bahwa Rinjani silam sudah melambung meninggalkan catatan-catatan hitamnya "Rinjani sekarang sudah sangat aman, masyarakat lokal diberdayakan sebagai porter. Pemasukan mereka sebagai porter bisa menghidupi keluarga. Jika musim pendakian ditutup, masyakat memancing ikan atau berladang."
Cerita mengenai Rinjani pun menguap bersama sinar matahari pagi yang semakin meninggalkan cakrawala timur. Pukul tujuh, semua porter sudah berkumpul menyiapkan barang bawaanya masing-masing. Kami para peserta blacktrail tentu juga mengambil persiapan untuk pendakian panjang hari ini. Guide kami, Abdul seorang pria lokal lulusan Sastra Inggris dari Universitas Mataram menjelaskan bahwa pendakian hari ini akan ditempuh dalam waktu lebih kurang 10 jam, tergantung kecepatan perjalanan kami.
Kami menyinggahi kantor Taman Nasional Gunung Rinjani di Desa Sembalun. Guide kami menerangkan jalur pendakian yang akan dilewati hari ini. Kemudian masing-masing kami diberi tanda masuk untuk para pendaki. Tanda masuk ini bertarif Rp 10.000 untuk pendaki domestik dan Rp 150.000 untuk pendaki berkewarganegaraan asing. Kami menggantungkan tanda masuk ini di tas yang kami bawa. Pendakian-pun dimulai.
Kami melewati jalanan berbatu, perkebunan penduduk. Dikiri-kanan rumput-rumput menguning. Tanah berbatu yang kami lewati menerbangkan debu-nya saat telapak sepatu kami menginjak tanah agak keras. Pohon-pohon mengering, yang tersisa hanya rantingnya saja. Daunnya mungkin sudah menyatu dengan tanah. Kami berjalan semakin cepat beriringan dengan sengatan matahari.
Kami berjalan mengejar Pos 1 Sembalun diketinggian 1300 mdpl. Dari pintu Sembalun menuju POs 1 perjalanan melintasi padang sabana dan tentu saja sangat menguras tenaga. Meskpiun datar, namun sabana Sembalun menyiksa kulit. Panas matahari menembak kulit kami secara langsung, tanpa ada tempat berteduh mau tidak mau kami harus melangkah lebih cepat. Sebelum matahari tepat diubun-ubun kami sudah menginjakkan kaki di Pos 1 Sembalun sudah dipenuhi para pendaki lain dari berbagai daerah termasuk turis mancanegara .
Perjalanan beranjak dari ketinggian 1300 mdpl menuju 1500mdpl. Tujuan kami adalah Pos 2 Tengengean. Di pos ini kami beristirahat menunggu makan yang sedang disiapkan porter. Hampir semua para pendaki menjadikan Pos Tengengean sebagai tempat untuk menggelar tikar dan kompor, memasak makanan untuk asupan energi jalur pendakian berikutnya. Jalur pendakian yang menanjak menuju Plawangan Sembalun melewati jalur pendakian yang sangat menyiksa, bukit penyesalan dan bukit penyiksaan.
Perjalanan dari Pos 2 menuju Plawangan Sembalun menyisakan pelajaran berharga bagi para pendaki. Ini soal alam yang tak mungkin untuk dilawan apalagi ditaklukan. Bayang-bayang bukit menghitam hangus akibat kebakaran lahan menjadi permasalahan baru bagi para pendaki. Di Rinjani, kebakaran adalah hal yang sangat rentan terjadi. Musim panas dalam waktu panjang mengeringkan rumput, mebuat tanah menjadi gersang. Gesekan-gesekan menimbulkan percikan api, membakar lahan dan menyebarkan asap-asap kebakaran yang sangat berbahaya. Alam bisa bersahabat dengan pendaki namun dengan seketika bisa menjadi lawan yang mematikan. Kebakaran perlu diwaspadai jika mendaki Rinjani saat musim panas, hal ini pulalah yang harusnya disadari para pendaki. Para pendaki perokok hendaknya memikirkan kembali efek dari kegiatan merokok yang mereka lakukan, begitu pula pendaki yang membuat unggun.
Bukit penyesalan belum juga habis di daki, kami beristirahat sejenak di Pada Balong di ketinggian 1800mdpl. Saya tersandar ditumpukan batu, begitupun teman pendakian.
"Jangan percaya tentang penyesalan yang datang di akhir. Disini penyesalan datang lebih awal, belum juga sampai di puncak Rinjani. Saya sudah menyesal..." seloroh Farli, seorang pendaki yang ikut dalam rombongan pendakian.
Lewat Pada Balong, jalur semakin menanjak. Kami melewati tanah kering, dikiri kanan rerumputan kering menguning. Vegetasi dpenuhi pohon cemara gunung, paku gunung serta rereumputan. Kabut juga mulai menyentuh pucuk-pucuk kayu, menyisakan pemandangan hampa. Saya mengambil fokus untuk tidak melihat tanjakan tanah yang akan saya lewati. Hanya memandang kebawah, berusaha untuk berkonsentrasi melewati tanjakan-tanjakan. Konon cara ini adalah cara ampuh untuk menghilangkan frustasi melewati tanjakan. Fokus dan tatapan mata kebawah sedikit banyak mengurangi beban perasaan bahwa kita masih harus melewati tanjakan terjal.
Sebelum senja kami menginjakkan kaki di area datar, ini belum Plawangan Sembalun yang menjadi tempat peristirahatan kami malam ini. Matahari senja bersinar kemerah-merahan dari balik gumpalan awan berhasil menghentikan langkah kami kemudian duduk menikmati matahari hilang dari penggungan bukit. "Di balik awan ini, Danau Segara Anak" Adjie menunjuk ke arah awan yang menggumpal menutupi cekungan yang dikelilingi bukit. Matahari sudah berganti dengan gelap malam, kami mulai memasang jaket, sarung tangan, penutup kepala dan menyalakan senter menuju Plawangan Sembalun. Butuh waktu seitar 20 menit untuk tiba di Plawangan Sembalun.
Sesampainya di Plawangan Sembalun, tenda sudah berdiri. Masing-masing tenda sudah terbentang matras dan sleeping bag yang akan menghangatkan kami malam ini. Teh hangat sudah tersedia untuk siap diminum, sementara makanan masih dimasak oleh para porter. Lagi-lagi saya dibuat kagum oleh kinerja porter yang bekerja luar biasa. Porter menjadi peringan beban para pendaki, terutama bagi para pendaki yang ingin menikmati jalur pendakian namun kesulitan untuk menyediakan tenaga lebih untuk membawa bekal maupun memasak makanan.
Porter di Rinjani ibarat bidadari bagi para menusia yang dilanda asmara. Mereka memberikan totalitas pekerjaan untuk kenyamanan para pendaki. Pengelolaan Rinjani dan ketersedian porter yang berawasan tentunya patut dicontoh oleh gunug-gunung yang sudah dikelola ataupun yang akan dikelola untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata yang turut memberi pemasukan bagi masyarakat lokal. Bagi pendaki tentu saja ini akan sangat membantu, dengan membayar tarif porter maupun pemandu yang berkisar Rp 125.000 - 200.000 pendakian ke Puncak Rinjani bisa dilakukan dengan aman dan nyaman.
Masih dinihari, diluar tenda beberapa tim pendakian sudah terbangun. Beberapa perlengkapan mulai dikemas, logistik, spanduk, perlengkapan pribadi pendakian dipastikan cukup tersedia. Hal yang paling penting tentu saja ketersedian penerangan yang cukup untuk summit kali ini. Pukul 02.30 kami mulai meninggalkan Plawangan Sembalun, tempat kami bermalam di ketinggian 2639 mdpl.
Dari Plawangan Sembalun menuju puncak Rinjani diperkirakan memakan waktu 3 hingga 4 jam. Lagi-lagi semua tergantung kecepatan kita dalam berjalana. Menggapai puncak Rinjani bukan perkara mudah, tanah berdebu menjadi jalan pembuka perjalanan ke puncak. Belum lagi hembusan udara dingin yang menerpa semakin memberatkan langkah menuju puncak Rinjani. Beberapa diantara kami bahkan harus memupuskan harapannya untuk menggapai puncak Rinjani dan berbalik arah kembali ke Plawangan Sembalun.
Saya bersama Firman Firdaus menjadi anggota tim yang terakhir menggapai puncak Rinjani. Meskipun tidak bisa menyaksikan matahari terbit di Puncak Anjani setidaknya kami masih bisa menyaksikan permainan warna alam di pagi hari dijalur pendakian menuju puncak. Kami baru menyentuh titik tertinggi di Pulau Lombok lewat pukul 8. Sementara anggota tim Adjie, Farli dan Renly sudah menyandarkan diri di balik batu puncak Rinjani.
Sekarang kami berdiri di 3726 mdpl, jauh di seberang sana Gunung Agung tampak menjulang di balik awan. Sementara latar depan berupa Danau Segara Anak mulai ditutupi awan tipis. Menjadi kebanggan bagi kami bisa menggapai salah satu puncak tertinggi di negeri ini. Setidaknya kami mendaki lebih tinggi dari Zoolinger, kawan.
Perjalanan kembali menuju Plawangan Sembalun termasuk cepat. Kami menuruni jalur bebatuan dan tanah dengan berlari. Jika kaki tidak kuat untuk menghentikan laju lari, hal termudah adalah menjatuhkan diri kemudian menahan laju dengan tapak sepatu. Tapi semua itu harus dilakukan dengan hati-hati, jika salah sedikit saja ganjarannya adalah jatuh ke jurang.
Setibanya di Plawangan Sembalun kami membawa cerita bagi anggota tim yang membatalkan diri untuk summit. Cerita tentang kemauan, kerja keras dan kebersamaan. Cerita itu yang menyemangati kami tiba hingga di puncak. Apalagi yang lebih indah dari kebersamaan selain alam Rinjani yang memang benar-benar menawan ? Itu sudah.
Rinjani merupakan Gunung Api bertipe Strato dengan Kaldera Berdanau ini diperkirakan memiliki tinggi 5000 mdpl pada zaman tersier (lebih dari 600.000 tahun lalu). Aktivitas tektonik vulkanik dalam skala besar mengambil andil besar dalam perubahan bentuk Rinjani serta munculnya kerucut Gunung Baru Jari (2376 mdpl). Aktivitas tektonik vulkanik Rinjani juga memunculkan kaldera luas menampung air, masyakat lokal menamainya Danau Segara Anak. Luas Danau ini mencapai 2400 m x 2800 m, dan menjadikan salah satu danau vulkanik aktif terbesar di bumi.
Kami menuruni lereng bebatuan terjal, dari Plawangan Sembalun tempat kami bermalam tadi malam mata kaki kami bergerak menuju Danau Segara Anak. Sebuah Danau yang terbentuk akibat aktivitas Gunung Rinjani ribuan tahun silam. Menuruni Danau Segara Anak bukan perkara mudah, jalan berbatu yang kami turuni sulit sekali untuk dilewati. Namun kami tiba juga di Segara Anak, tempat kami bermalam kali ini tepat dipinggir Danau Segara Anak.
Hamparan danaunya biru pekat gelap, di seberang menjulang Gunung Baru Jari lelap tanpa aktivitas. Tapi siapa yang tau diperut Gunung Baru Jari, mungkin saja dapur magmanya sedang mengolah lahar-lahar untuk dimuntahkan dalam waktu yang tidak bisa diprediksi. Bagi masayarakat lokal, Sasak yang hidup dalam Adat Watu Telu serta masrakat Hindu Bali menggangap Gunung Rinjani ini sebagai tempat suci dan tempat keramat dimana para dewa bersemayam. Tak salah jika dibulan tertentu masyarakat membawa sesajen ke Danau Segara untuk dipersembahkan kepada para dewa.
Bagi para pendaki, Danau Segara Anak menjadi tempat favorit untuk merenggakan otot yang sudah dipaksa bekerja menggapai puncak. Tak terkecuali kami, tak jauh dari tempat kami mendirikan tenda terdapat sumber mata air panas. Air nya mengalir deras, sumber air panasnya laksana kolam yang akan memanjakan setiap pendaki yang mandi. Kami berendam hingga gelap malam.
Danau Segara Anak juga memberi penghidupan bagi penduduk lokal. Di kedalaman danau nya hidup berbagai jenis ikan, penduduk lokal pergi memancing ikan di danau. Hasilnya kemudian dijual di pasar tradisional. Pendaki pun bisa menangkap ikan didanau ini.
Semalam di Danau Segara Anak, esoknya ucapan pisah harus terjadi antara kami dan Danau Segara anak, begitu pula dengan Gunung Rinjani. Perjalanan turun akan ditempuh dalam waktu 10-12 jam melewati jalur Senaru. Dari Danau Segara Anak, kami harus tertatih mendaki tanjakan batu hingga tiba di Plawangan Senaru. Di perjalanan, kami tersenyum miris saat seorang teman hampir saja menginjak kotoran manusia yang ditutupi tisu. Saya berpikir dalam hati, kadang-kadang majunya peradaban tidak ikut serta membuat pikiran manusia maju. Saya yakin kotoran tersebut bukan dihasilkan oleh warga lokal jika melihat ukuran dan tata cara membersihkan kotorannya. Saya yakin ini adalah kotoran pendaki asing yag membuang kotoran sembarangan bahkan ada kotoran yang dibuang di jalur pendakian. Meskipun pendaki asing hidup dalam negara yang maju dalam peradaban, namun ketidak tahuan mereka soal polusi kotoran yang mereka buang serta alat pembersih berupa tisu tentunya sangat mengganggu dan merusak lingkungan. Perlu adanya edukasi yang dilakukan oleh guide maupun porter yang menemani mereka, minimal disetiap porter disediakan alat penggali tanah. Jadi setiap pendaki yang hendak buang air besar harus menggali tanah dan menutupi kotoran mereka.
Dari Plawangan Senaru perjalanan melewati turunan, awalnya kami berjalan melewati pinggir bukit dengan pemandangan indah bukit teletubies. Kemudian memasuki hutan yang ditumbuhi berbagai jenis pohon. Pendakian Rinjani ini penuh dengan berbagai macam vegetasi, mulai dari padang saban luas saat kami melewati Sembalun, jalur bebatuan dengan taman edelwis yang sangat indah saat mendaki ke puncak Rinjani, Danau Segara Anak yang bisa menjadi perpustakaan yang kaya akan ilmu soal alam, serta hutan rimba saat kami menuruni jalur Senaru.
Semua itu tersaji indah di Rinjani yang sudah dikelola dengan sangat baik. Rinjani yang menawarkan berbagai macam kesenangan bagi wisatawan, menjadi ruang kelas bagi para pencari ilmu alam, menjadi sumber penghidupan bagi penduduk lokal dan tempat bagi Suku Sasak dan Masayarakt Hindu Bali untuk memberikan sesajen bagi para Dewa Mereka. Sempurna sudah Taman Nasional Gunung Rinjani.
Tahun 2008, Rinjani pernah diusulkan untuk menjadi Taman Bumi (Geopark) ke UNESCO. Rinjani punya aset untuk menjadi Taman Bumi laksana Batur di Pulau Bali yang sudah lebih dulu menyandang predikat tersebut Bentang alam yang terjadi melalui proses panjang yang sarat akan ilmu pengetahuan, lanskap menawan, masyakat lokal yang menjadikan Rinjani sebagai tempat suci, serta pengelolaan Rinjani yang sudah sangat baik hendaknya membuka mata kita bagaiman suatu destinasi itu dikelola secara baik, bukan hanya untuk keuntungan sekarang tapi juga untuk keuntungan berkelanjutan bukan hanya dari segi ekonomi tetapi juga dari segi pelestarian alam. Rinjani sudah siap melangkah ke Taman Bumi.
Perjalanan kami mendaki Rinjani berakhir saat malam sudah menggumpal pekat pintu gerbang Senaru. Kami beristirahat sejenak dan mengucap sukur atas pendakian ini. Sampai jumpa lagi Rinjani, semoga kita bisa melangkah ke Taman Bumi. []
Dua abad setelah pendakian manusia ke Gunung Rinjani, saya bersama empat teman lainnya mendapat peruntungan. Tiket terbang Jakarta - Lombok PP serta hal yang sangat menyenangkan sudah menanti kami. Mengikuti jejak Zoolinger mendaki Gunung Rinjani, targetnya tentu saja Puncak Anjani diketinggian 3726 mdpl. Adalah Loreal Men Expert bersama dengan National Geographic Indonesia mengadakan kegiatan #blacktrail, sebuah program petualangan yang memberi edukasi dan membuka mata para pesertanya untuk mengenal Indonesia lebih jauh, belajar budaya lokal, berinteraksi dengan masyarakat dan melakukan perjalanan cerdik yang tentu saja memberi esensi perjalanan yang selama ini belum sepenuhnya saya dan teman-teman lakukan. Turut pula bersama kami Pak Rifki, dari Indecon (Indonesia Ecotourism Network) sebuah organisasi yang malang-melintang dalam pengelolaan destinasi berbasis ekowisata yang tentu saja memberi banyak manfaat bagi penduduk lokal. Nicholas Saputra, idola saya yang membintangi film Soe Hok Gie, Janji Joni dan sederet film hebat lainnya. Cahyo Alkantana videographer kawakan, karyanya sudah mendunia dan menjadikan pria 49 tahun kelahiran Yogyakarta ini menjadi petualang yang paling diperhitungkan di negeri ini.
***
Kami membuka pagi pertama di Desa Sembalun, yang menjadi salah satu jalur pendakian yang ada di Rinjani selain Senaru dan Torean. Porter kami pagi ini menyajikan kopi dengan takaran pas, dan tentu saja pancake berstandar internasional dengan cita rasa lezat buatan penduduk Sembalun, sebuah kemajuan besar. Rinjani Trek Management Board (RTMB) adalah pihak yang sangat berjasa dalam mengedukasi para porter yang kesemuanya merupakan warga lokal. Usaha edukasi ini tentu saja membawa dampak besar terhadap pengelolaan kawasan Rinjani, tidak hanya dampak nyata dalam pelestarian kawasan alam, namun juga dampak ekonomi bagi warga lokal.
"Dulu kalau kita rebus air, atau memasak nasi. Itu semua peralatan harus dijaga. Kalau ditinggalin sebentar, bisa hilang semua peralatan masak, bahkan panci yang lagi dimasak nasipun ikut raib." tutur Cahyo Alkantana mengenang betapa rawannya Rinjani saat pendakiannya tahun 1982. Cerita-cerita seram itu pun saya dengar saat briefing sebelum keberangkatan menuju Rinjani di kantor Loreak Men Expert, tenda yang hilang dan pemalakan yang dilakukan warga lokal.
Namun Pak Rifki dari Indecon meyakinkan sekali lagi bahwa Rinjani silam sudah melambung meninggalkan catatan-catatan hitamnya "Rinjani sekarang sudah sangat aman, masyarakat lokal diberdayakan sebagai porter. Pemasukan mereka sebagai porter bisa menghidupi keluarga. Jika musim pendakian ditutup, masyakat memancing ikan atau berladang."
Cerita mengenai Rinjani pun menguap bersama sinar matahari pagi yang semakin meninggalkan cakrawala timur. Pukul tujuh, semua porter sudah berkumpul menyiapkan barang bawaanya masing-masing. Kami para peserta blacktrail tentu juga mengambil persiapan untuk pendakian panjang hari ini. Guide kami, Abdul seorang pria lokal lulusan Sastra Inggris dari Universitas Mataram menjelaskan bahwa pendakian hari ini akan ditempuh dalam waktu lebih kurang 10 jam, tergantung kecepatan perjalanan kami.
Kami menyinggahi kantor Taman Nasional Gunung Rinjani di Desa Sembalun. Guide kami menerangkan jalur pendakian yang akan dilewati hari ini. Kemudian masing-masing kami diberi tanda masuk untuk para pendaki. Tanda masuk ini bertarif Rp 10.000 untuk pendaki domestik dan Rp 150.000 untuk pendaki berkewarganegaraan asing. Kami menggantungkan tanda masuk ini di tas yang kami bawa. Pendakian-pun dimulai.
***
Kami melewati jalanan berbatu, perkebunan penduduk. Dikiri-kanan rumput-rumput menguning. Tanah berbatu yang kami lewati menerbangkan debu-nya saat telapak sepatu kami menginjak tanah agak keras. Pohon-pohon mengering, yang tersisa hanya rantingnya saja. Daunnya mungkin sudah menyatu dengan tanah. Kami berjalan semakin cepat beriringan dengan sengatan matahari.
Kami berjalan mengejar Pos 1 Sembalun diketinggian 1300 mdpl. Dari pintu Sembalun menuju POs 1 perjalanan melintasi padang sabana dan tentu saja sangat menguras tenaga. Meskpiun datar, namun sabana Sembalun menyiksa kulit. Panas matahari menembak kulit kami secara langsung, tanpa ada tempat berteduh mau tidak mau kami harus melangkah lebih cepat. Sebelum matahari tepat diubun-ubun kami sudah menginjakkan kaki di Pos 1 Sembalun sudah dipenuhi para pendaki lain dari berbagai daerah termasuk turis mancanegara .
Perjalanan beranjak dari ketinggian 1300 mdpl menuju 1500mdpl. Tujuan kami adalah Pos 2 Tengengean. Di pos ini kami beristirahat menunggu makan yang sedang disiapkan porter. Hampir semua para pendaki menjadikan Pos Tengengean sebagai tempat untuk menggelar tikar dan kompor, memasak makanan untuk asupan energi jalur pendakian berikutnya. Jalur pendakian yang menanjak menuju Plawangan Sembalun melewati jalur pendakian yang sangat menyiksa, bukit penyesalan dan bukit penyiksaan.
Perjalanan dari Pos 2 menuju Plawangan Sembalun menyisakan pelajaran berharga bagi para pendaki. Ini soal alam yang tak mungkin untuk dilawan apalagi ditaklukan. Bayang-bayang bukit menghitam hangus akibat kebakaran lahan menjadi permasalahan baru bagi para pendaki. Di Rinjani, kebakaran adalah hal yang sangat rentan terjadi. Musim panas dalam waktu panjang mengeringkan rumput, mebuat tanah menjadi gersang. Gesekan-gesekan menimbulkan percikan api, membakar lahan dan menyebarkan asap-asap kebakaran yang sangat berbahaya. Alam bisa bersahabat dengan pendaki namun dengan seketika bisa menjadi lawan yang mematikan. Kebakaran perlu diwaspadai jika mendaki Rinjani saat musim panas, hal ini pulalah yang harusnya disadari para pendaki. Para pendaki perokok hendaknya memikirkan kembali efek dari kegiatan merokok yang mereka lakukan, begitu pula pendaki yang membuat unggun.
Bukit penyesalan belum juga habis di daki, kami beristirahat sejenak di Pada Balong di ketinggian 1800mdpl. Saya tersandar ditumpukan batu, begitupun teman pendakian.
"Jangan percaya tentang penyesalan yang datang di akhir. Disini penyesalan datang lebih awal, belum juga sampai di puncak Rinjani. Saya sudah menyesal..." seloroh Farli, seorang pendaki yang ikut dalam rombongan pendakian.
Lewat Pada Balong, jalur semakin menanjak. Kami melewati tanah kering, dikiri kanan rerumputan kering menguning. Vegetasi dpenuhi pohon cemara gunung, paku gunung serta rereumputan. Kabut juga mulai menyentuh pucuk-pucuk kayu, menyisakan pemandangan hampa. Saya mengambil fokus untuk tidak melihat tanjakan tanah yang akan saya lewati. Hanya memandang kebawah, berusaha untuk berkonsentrasi melewati tanjakan-tanjakan. Konon cara ini adalah cara ampuh untuk menghilangkan frustasi melewati tanjakan. Fokus dan tatapan mata kebawah sedikit banyak mengurangi beban perasaan bahwa kita masih harus melewati tanjakan terjal.
Sebelum senja kami menginjakkan kaki di area datar, ini belum Plawangan Sembalun yang menjadi tempat peristirahatan kami malam ini. Matahari senja bersinar kemerah-merahan dari balik gumpalan awan berhasil menghentikan langkah kami kemudian duduk menikmati matahari hilang dari penggungan bukit. "Di balik awan ini, Danau Segara Anak" Adjie menunjuk ke arah awan yang menggumpal menutupi cekungan yang dikelilingi bukit. Matahari sudah berganti dengan gelap malam, kami mulai memasang jaket, sarung tangan, penutup kepala dan menyalakan senter menuju Plawangan Sembalun. Butuh waktu seitar 20 menit untuk tiba di Plawangan Sembalun.
Porter menyediakan makanan bagi para pendaki. Keseluruhan porter adalah warga lokal, sehingga kehadiran wisatawan yang mendaki menggunakan jasa porter turut membantu perekonomian masyarakat lokal. |
Sesampainya di Plawangan Sembalun, tenda sudah berdiri. Masing-masing tenda sudah terbentang matras dan sleeping bag yang akan menghangatkan kami malam ini. Teh hangat sudah tersedia untuk siap diminum, sementara makanan masih dimasak oleh para porter. Lagi-lagi saya dibuat kagum oleh kinerja porter yang bekerja luar biasa. Porter menjadi peringan beban para pendaki, terutama bagi para pendaki yang ingin menikmati jalur pendakian namun kesulitan untuk menyediakan tenaga lebih untuk membawa bekal maupun memasak makanan.
Porter di Rinjani ibarat bidadari bagi para menusia yang dilanda asmara. Mereka memberikan totalitas pekerjaan untuk kenyamanan para pendaki. Pengelolaan Rinjani dan ketersedian porter yang berawasan tentunya patut dicontoh oleh gunug-gunung yang sudah dikelola ataupun yang akan dikelola untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata yang turut memberi pemasukan bagi masyarakat lokal. Bagi pendaki tentu saja ini akan sangat membantu, dengan membayar tarif porter maupun pemandu yang berkisar Rp 125.000 - 200.000 pendakian ke Puncak Rinjani bisa dilakukan dengan aman dan nyaman.
***
Masih dinihari, diluar tenda beberapa tim pendakian sudah terbangun. Beberapa perlengkapan mulai dikemas, logistik, spanduk, perlengkapan pribadi pendakian dipastikan cukup tersedia. Hal yang paling penting tentu saja ketersedian penerangan yang cukup untuk summit kali ini. Pukul 02.30 kami mulai meninggalkan Plawangan Sembalun, tempat kami bermalam di ketinggian 2639 mdpl.
Dari Plawangan Sembalun menuju puncak Rinjani diperkirakan memakan waktu 3 hingga 4 jam. Lagi-lagi semua tergantung kecepatan kita dalam berjalana. Menggapai puncak Rinjani bukan perkara mudah, tanah berdebu menjadi jalan pembuka perjalanan ke puncak. Belum lagi hembusan udara dingin yang menerpa semakin memberatkan langkah menuju puncak Rinjani. Beberapa diantara kami bahkan harus memupuskan harapannya untuk menggapai puncak Rinjani dan berbalik arah kembali ke Plawangan Sembalun.
Saya bersama Firman Firdaus menjadi anggota tim yang terakhir menggapai puncak Rinjani. Meskipun tidak bisa menyaksikan matahari terbit di Puncak Anjani setidaknya kami masih bisa menyaksikan permainan warna alam di pagi hari dijalur pendakian menuju puncak. Kami baru menyentuh titik tertinggi di Pulau Lombok lewat pukul 8. Sementara anggota tim Adjie, Farli dan Renly sudah menyandarkan diri di balik batu puncak Rinjani.
Sekarang kami berdiri di 3726 mdpl, jauh di seberang sana Gunung Agung tampak menjulang di balik awan. Sementara latar depan berupa Danau Segara Anak mulai ditutupi awan tipis. Menjadi kebanggan bagi kami bisa menggapai salah satu puncak tertinggi di negeri ini. Setidaknya kami mendaki lebih tinggi dari Zoolinger, kawan.
Perjalanan kembali menuju Plawangan Sembalun termasuk cepat. Kami menuruni jalur bebatuan dan tanah dengan berlari. Jika kaki tidak kuat untuk menghentikan laju lari, hal termudah adalah menjatuhkan diri kemudian menahan laju dengan tapak sepatu. Tapi semua itu harus dilakukan dengan hati-hati, jika salah sedikit saja ganjarannya adalah jatuh ke jurang.
Setibanya di Plawangan Sembalun kami membawa cerita bagi anggota tim yang membatalkan diri untuk summit. Cerita tentang kemauan, kerja keras dan kebersamaan. Cerita itu yang menyemangati kami tiba hingga di puncak. Apalagi yang lebih indah dari kebersamaan selain alam Rinjani yang memang benar-benar menawan ? Itu sudah.
***
Rinjani merupakan Gunung Api bertipe Strato dengan Kaldera Berdanau ini diperkirakan memiliki tinggi 5000 mdpl pada zaman tersier (lebih dari 600.000 tahun lalu). Aktivitas tektonik vulkanik dalam skala besar mengambil andil besar dalam perubahan bentuk Rinjani serta munculnya kerucut Gunung Baru Jari (2376 mdpl). Aktivitas tektonik vulkanik Rinjani juga memunculkan kaldera luas menampung air, masyakat lokal menamainya Danau Segara Anak. Luas Danau ini mencapai 2400 m x 2800 m, dan menjadikan salah satu danau vulkanik aktif terbesar di bumi.
Kami menuruni lereng bebatuan terjal, dari Plawangan Sembalun tempat kami bermalam tadi malam mata kaki kami bergerak menuju Danau Segara Anak. Sebuah Danau yang terbentuk akibat aktivitas Gunung Rinjani ribuan tahun silam. Menuruni Danau Segara Anak bukan perkara mudah, jalan berbatu yang kami turuni sulit sekali untuk dilewati. Namun kami tiba juga di Segara Anak, tempat kami bermalam kali ini tepat dipinggir Danau Segara Anak.
Hamparan danaunya biru pekat gelap, di seberang menjulang Gunung Baru Jari lelap tanpa aktivitas. Tapi siapa yang tau diperut Gunung Baru Jari, mungkin saja dapur magmanya sedang mengolah lahar-lahar untuk dimuntahkan dalam waktu yang tidak bisa diprediksi. Bagi masayarakat lokal, Sasak yang hidup dalam Adat Watu Telu serta masrakat Hindu Bali menggangap Gunung Rinjani ini sebagai tempat suci dan tempat keramat dimana para dewa bersemayam. Tak salah jika dibulan tertentu masyarakat membawa sesajen ke Danau Segara untuk dipersembahkan kepada para dewa.
Bagi para pendaki, Danau Segara Anak menjadi tempat favorit untuk merenggakan otot yang sudah dipaksa bekerja menggapai puncak. Tak terkecuali kami, tak jauh dari tempat kami mendirikan tenda terdapat sumber mata air panas. Air nya mengalir deras, sumber air panasnya laksana kolam yang akan memanjakan setiap pendaki yang mandi. Kami berendam hingga gelap malam.
Danau Segara Anak juga memberi penghidupan bagi penduduk lokal. Di kedalaman danau nya hidup berbagai jenis ikan, penduduk lokal pergi memancing ikan di danau. Hasilnya kemudian dijual di pasar tradisional. Pendaki pun bisa menangkap ikan didanau ini.
***
Semalam di Danau Segara Anak, esoknya ucapan pisah harus terjadi antara kami dan Danau Segara anak, begitu pula dengan Gunung Rinjani. Perjalanan turun akan ditempuh dalam waktu 10-12 jam melewati jalur Senaru. Dari Danau Segara Anak, kami harus tertatih mendaki tanjakan batu hingga tiba di Plawangan Senaru. Di perjalanan, kami tersenyum miris saat seorang teman hampir saja menginjak kotoran manusia yang ditutupi tisu. Saya berpikir dalam hati, kadang-kadang majunya peradaban tidak ikut serta membuat pikiran manusia maju. Saya yakin kotoran tersebut bukan dihasilkan oleh warga lokal jika melihat ukuran dan tata cara membersihkan kotorannya. Saya yakin ini adalah kotoran pendaki asing yag membuang kotoran sembarangan bahkan ada kotoran yang dibuang di jalur pendakian. Meskipun pendaki asing hidup dalam negara yang maju dalam peradaban, namun ketidak tahuan mereka soal polusi kotoran yang mereka buang serta alat pembersih berupa tisu tentunya sangat mengganggu dan merusak lingkungan. Perlu adanya edukasi yang dilakukan oleh guide maupun porter yang menemani mereka, minimal disetiap porter disediakan alat penggali tanah. Jadi setiap pendaki yang hendak buang air besar harus menggali tanah dan menutupi kotoran mereka.
Dari Plawangan Senaru perjalanan melewati turunan, awalnya kami berjalan melewati pinggir bukit dengan pemandangan indah bukit teletubies. Kemudian memasuki hutan yang ditumbuhi berbagai jenis pohon. Pendakian Rinjani ini penuh dengan berbagai macam vegetasi, mulai dari padang saban luas saat kami melewati Sembalun, jalur bebatuan dengan taman edelwis yang sangat indah saat mendaki ke puncak Rinjani, Danau Segara Anak yang bisa menjadi perpustakaan yang kaya akan ilmu soal alam, serta hutan rimba saat kami menuruni jalur Senaru.
Semua itu tersaji indah di Rinjani yang sudah dikelola dengan sangat baik. Rinjani yang menawarkan berbagai macam kesenangan bagi wisatawan, menjadi ruang kelas bagi para pencari ilmu alam, menjadi sumber penghidupan bagi penduduk lokal dan tempat bagi Suku Sasak dan Masayarakt Hindu Bali untuk memberikan sesajen bagi para Dewa Mereka. Sempurna sudah Taman Nasional Gunung Rinjani.
Tahun 2008, Rinjani pernah diusulkan untuk menjadi Taman Bumi (Geopark) ke UNESCO. Rinjani punya aset untuk menjadi Taman Bumi laksana Batur di Pulau Bali yang sudah lebih dulu menyandang predikat tersebut Bentang alam yang terjadi melalui proses panjang yang sarat akan ilmu pengetahuan, lanskap menawan, masyakat lokal yang menjadikan Rinjani sebagai tempat suci, serta pengelolaan Rinjani yang sudah sangat baik hendaknya membuka mata kita bagaiman suatu destinasi itu dikelola secara baik, bukan hanya untuk keuntungan sekarang tapi juga untuk keuntungan berkelanjutan bukan hanya dari segi ekonomi tetapi juga dari segi pelestarian alam. Rinjani sudah siap melangkah ke Taman Bumi.
Tiba di gerbang Senaru setelah perjalanan turun selama 11 Jam. |
Perjalanan kami mendaki Rinjani berakhir saat malam sudah menggumpal pekat pintu gerbang Senaru. Kami beristirahat sejenak dan mengucap sukur atas pendakian ini. Sampai jumpa lagi Rinjani, semoga kita bisa melangkah ke Taman Bumi. []
0 komentar:
Posting Komentar